Akses Transportasi Untuk Mencapai Tambora

Tambora, gunung yang pernah mengguncang dunia pada abad ke-15 dengan letusan dahsyatnya. Tambora saat ini mungkin tak setenar gunung Rinjani di Lombok. Tapi gunung yang masih satu provinsi dengan Rinjani ini juga memiliki pesona yang tak kalah dengannya. Baik berupa Kaldera Raksasa yang tercipta dari letusannya, maupun sisa-sisa letusan yang mengubur beberapa peradaban di sekelilingnya.

Gunung ini berada di Pulau Sumbawa, Pulau Terbesar di Nusa Tenggara Barat. Letaknya bersebelahan dengan pulau Lombok, tepatnya di kabupaten Bima dan Dompu. Untuk menuju ke gunung Tambora ada beberapa alternatif transportasi yang bisa di gunakan. Semua transportasi tersebut harus melalui kota Dompu.

Bandara terdekat dengan gunung Tambora adalah bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima. Pendaki dari luar Sumbawa dapat menggunakan pesawat menuju bandara ini. Umumnya akan transit dulu di lombok atau bali. Pesawat langsung dari bandara di pulau Jawa tidak ada, jadi harus transit dulu. Sedangkan penerbangan dari Makassar terdapat penerbangan langsung.

Dari bandara Bima, perjalanan dapat dilakukan dengan menggunakan kendaraan umum atau charter mobil. Kendaraan umum yang tersedia adalah Bus, dengan trayek Bima-Dompu-Kadindi atau Bima-Dompu lanjut Dompu-Kadindi. Bis ini biasanya lewat di jalan di depan bandara, dengan durasi tertentu. Bis yang tersedia adalah bis ukuran kecil dengan penumpang yang biasanya selalu penuh. Jika yang menjadi pertimbangan adalah kenyamanan sepertinya ini tidak di sarankan. Bis biasanya tersedia dari jam 7.00-16.00 Wita. Bima-Dompu 50 ribu dan Dompu-Kadindi 70 ribu. Dari Kadindi ke Pancasila dapat menggunakan Bis untuk kondisi tertentu biasanya diantar sampai pancasila. Selain menggunakan bis pengunjung dapat menggunakan jasa Ojek dari pasar kadindi ke Pancasila (Pos Perizinan) dengan tarif 20-30 ribu.

Tiket Pesawat

Jakarta- Bima : 2.700.000-3.400.000

Surabaya-Bima : 1.800.000-3.600.000

Bali-Bima : 1.800.000-2.400.000

Lombok-Bima : 1.400.000-2.800.000

“Jancukan” Tumbuhan yang Membuat Pendaki Mengumpat Ketika Menyentuhnya

Siapa sih yang nggak kangen mendaki? mungkin semua orang sudah tidak sabar lagi untuk segera melakukan kegiatan yang satu ini? tapi apalah daya, kita harus tetap mengikuti aturan yang ada, protokol kesehatan yang sudah di tetapkan untuk menghindari bencana yang lebih besar.

Sembari menunggu pendakian kembali buka, ayo kita kenalan sama tanaman yang membuat pendaki emosi sembari mengumpat saat menyentuhnya. Ada yang sudah kenal? yups, “Jancukan” atau Jelatang. Pendaki yang sudah sering naik gunung mungkin sudah tidak asing dengan tumbuhan ini. Jika terkena di kulit rasanya panas dan nyeri dan tentunya akan langsung mengumpat saat menyentuh badan. Mungkin hal inilah sumber penamaan tumbuhan ini, umpatan pendaki.

Hamparan “Jancukan” Girardinia palmata di Jalur Pancasila, Gunung Tambora.

Jelatang atau populer di mata pendaki dengan nama “Jancukan” merupakan tanaman dari famili Urticaceae. Tumbuhan ini biasanya tumbuh di bawah tegakan hutan yang terbuka. Ciri khas dari tumbuhan ini yaitu semua bagian tubuh tumbuhan dipenuhi duri-duri halus, jika terkena kulit akan menimbulkan efek nyeri dan panas.

Di Jalur pendakian Tambora “Jancukan” atau mladi dalam bahasa Bima sudah sangat umum, apalagi di Jalur Pancasila. Tumbuhan ini semacam “hadiah” selamat datang bagi pengunjung. Jika belum kena tumbuhan ini sepertinya ada yang kurang, bisa merasakan sensasi nyeri sambil menahan emosi.

Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang biasa di sebut jelatang. Walaupun dari spesies yang berbeda pendaki umumnya menganggap mereka sama. Jenis pertama yaitu Girardinia palmata. Jenis ini adalah yang paling umum, banyak dijumpai di berbagai gunung seperti di Gunung Argopuro. Ciri khas dari jenis ini yaitu memiliki daun seperti menjari. Batang mengayu pada pangkalnya dan semua bagian tubuh ditumbuhi bulu panjang. Jenis satu lagi yaitu Urtica bullata. Mirip dengan jenis sebelumnya tetapi bentuk daunnya berbeda. Bentuk daun jenis ini biasanya bulat hingga berbentuk waru.

Meski tumbuhan ini membuat emosi pendaki, tapi tumbuhan ini merupakan salah satu pakan rusa. Sering di beberapa titik terlihat bekas dimakan rusa pada tumbuhan ini. Menurut catatan Ledeboer (G.Iyang, Jawa Timur), rusa jantan memakan “Jancukan” untuk meningkatkan panas dan kekuatan untuk berkelahi.

Nanti saat wabah sudah mereda dan pendakian sudah di buka bisa datang ke Tambora untuk berkenalan langsung. Tapi ingat, harus bisa tahan emosi kalau nanti diajak salam sama mereka, he.

Anggrek Putih Penghuni Lembah Sumber Air Karyasari, Taman Nasional Tambora

Taman Nasional Tambora merupakan salah satu rumah yang tersisa di semenanjung sanggar untuk berbagai jenis tanaman, salah satunya adalah jenis anggrek. Kondisi alam Tambora yang beragam, menyediakan habitat ideal bagi tanaman anggrek, baik itu anggrek arboreal atau anggrek teresterial. Masing-masing tipe ekosistem memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda, seperti pada hutan musim dan hutan hujan, punggungan dan lembahan, atau daerah datar dengan daerah yang bergelombang. Kondisi lingkungan yang berbeda tersebut kemungkinan besar akan berpengaruh terhadap jenis anggrek yang tumbuh.

Lembah Sumber Air Karyasari

Anggrek merupakan salah satu jenis tumbuhan bioindikator lingkungan. Keberadaanya dapat menjadi indikator bahwa kondisi lingkungan di wilayah tersebut masih dalam keadaan baik. Karena tumbuhan ini membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik, sehingga jika ada kerusakan akan berdampak terhadap kehidupan jenis ini.

Sumber air karyasari merupakan salah satu titik yang memiliki kondisi lingkungan yang spesifik di Taman Nasional Tambora. Sumber ini berada di daerah lembah yang cukup dalam. Kondisi lingkungan yang lembab dan tutupan hutan yang masih lebat membuat kondisi lingkungan di lembah ini sangat berbeda dengan daerah sekitarnya. Daerah sekitar lembahan yang cukup kering berbeda dengan areal lembah yang lembab dan cenderung  basah. Pada lembahan ini terdapat sumber air yang dimanfatkan oleh masyarakat karya sari untuk keperluan sehari hari. Pada lembahan ini juga dijumpai air yang menetes dari tebing-tebing lembah, sehingga membuat lembah tersebut semakin basah dan lembab.

Jenis Anggrek (Habenaria sp.) yang Tumbuh di tebing Sumber Air Karyasari

Tanaman anggrek yang dijumpai di lembah sumber mata air karya sari merupakan anggrek teresterial. Anggrek ini tumbuh di permukaan tanah pada tebing-tebing di sisi lembah. Dinding lembah yang lembab dan basah karena air yang menetes juga menjadi lokasi tumbuh tanaman ini. Anggrek yang tumbuh berwarna putih bersih. Sebagian sudah mekar dan beberapa lainnya masih berupa kuncup bunga.

Proses identifikasi jenis anggrek dilakukan dengan melihat bentuk morfologi bunga anggrek tersebut. Bunga Berdasarkan hasil identifikasi dari beberapa sumber referensi, baik sumber teks atau sumber beberapa ahli, jenis tumbuhan tersebut termasuk dalam genus Habenaria, sedang jenis spesifik anggrek tersebut masih dalam proses identifikasi.

Anggrek Tanah (Habenaria sp) di Sumber Air Karyasari

Keberadaan jenis anggrek dengan warna putih mencolok di tebing sumber air tersebut menjadi penanda bahwa daerah tersebut masih dalam kondisi lingkungan yang baik. Hutan yang berada di sekitar wilayah tersebut harus tetap dijaga dengan baik agar anggrek ini dapat terus bertahan dan tidak terganggu.

“Uluru” dari Tanah Sumbawa Bernama Doro Ncanga

Uluru, sudah banyak orang yang sudah mengenalnya. Siapa yang tidak mengenal salah satu ikon benua kangguru tersebut. Gunung batu yang sudah diakui keindahannya di seluruh dunia. Ternyata indonesia juga punya tempat yang seakan mirip dengan dia, namun versi mini dan bukan batu, tapi cinder cone sisa letusan gunung Tambora.

Doro Ncanga memang sudah tidak asing bagi masyarakat dompu. Sebagai salah satu titik jalur pendakian menuju Tambora, memang sudah dikenal khalayak. Namun, ada spot di sekitar Gunung Doro Ncanga yang memiliki daya tarik untuk spot wisata. Spot ini terletak di sisi selatan Doro Ncanga. Tersembunyi dari jalan utama, dan belum ada petunjuk arah untuk menuju ke spot tersebut.

Di titik ini “Uluru Doro Ncanga” terdapat kubangan air, biasanya digunakan oleh kerbau untuk berendam. Kubangan ini terlihat seperti oasis diantara gersangnya Doro Ncanga saat musim kemarau. Kubangan ini juga berbatasan dengan laut di sisi selatan, terdapat mangrove yang membatasi kubangan ini dengan laut Teluk Salah.

Kerbau berendam dari teriknya matahari, terkadang terlihat kuda yang merumput di sekitar kubangan yang masih menyisakan rumput hijau. Beberapa burung air juga teramati di kubangan ini, seperti Raja Udang Biru dan Cekakak Sungai, jika beruntung bisa teramati Belibis Batu. Satwa lain yang sering teramati adalah Biawak (Varanus varius). Kadal raksasa yang sangat mirip dengan Komodo, tapi versi lebih kecil. Terkadang kadal ini teramati sedang memakan bangkai kerbau yang tergeletak di kubangan tersebut.

Hal lain yang menjadi daya tarik di titik ini adalah, rerumputan di antara bukit-bukit yang bersebelahan. Padang rumput ini hampir selalu hijau, meskipun bukit di sekelilingnya sudah mengering. Sehingga menciptakan pemandangan yang kontras dan menciptakan daya tarik tersendiri. Dari titik ini, pengunjung dapat menikmati keindahan Doro Ncanga yang seakan terlihat seperti “Uluru” dari tanah Sumbawa.

Nuri Pipi Merah (Geoffroyus geoffroyi), Cantik tapi Cerewet

Nuri Pipi Merah/ Red-Checked Parrot/ Geoffroyus geoffroyi

Nuri Pipi Merah (Geffroyus geoffroyi) merupakan burung berukuran kecil yang umum dijumpai di Taman Nasional Tambora. Burung ini biasanya terlihat terbang berkelompok, tetapi terkadang berpasangan. Terbang rendah di atas tajuk dengan suara berisik dan melengking. Dengan suara yang berisik tersebut (klee…kleeklee), burung ini dapat dikenali. Burung dengan warna dominan hijau terkadang tidak terlihat saat berada di tajuk pohon. Pergerakan yang lambat dan senyap saat mencari makan menyulitkan pengamat untuk mendeteksi burung tersebut. Jika bersuara saja ia terdeteksi

Burung jantan tubuh berwarna hijau dengan ciri khas bagian kepala berwarna merah mawar. Sedangkan burung betina pada bagian kepala berwarna coklat muda.

Beberapa individu sangat gesit dan sensitif. Saat melihat pergerakan manusia mereka biasanya langsung terbang. Namun, beberapa individu ada yang tidak terlalu sensitif, terutama ketika mereka sedang mencari makan. Saat mencari makan burung ini mudah diamati dan dapat didokumentasikan dengan baik.

Nuri pipi merah dapat dijumpai di jalur pendakian Doro Ncanga dan sekitarnya. Saat pagi atau sore biasnya terbang bersamaan di kanan dan kiri jalur pendakian. Terkadang bertengger di ranting atau batang pohon yang di ujung tajuk. Burung ini termasuk dalam jenis burung dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999. Sedangkan berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) jenis ini masuk dalam Last Consern (LC) dimana kategori ini diberikan untuk jenis yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori mana pun, baik itu terancam punah atau mendekati terancam punah

Argopuro, Pernah Sampai Puncak Tertinggi Dataran Tinggi Yang (Part 3): Danau Taman Hidup dengan Embun Bekunya (Frost)

Sore yang cukup melelahkan, setelah menggapai puncak dan langsung turun menuju Danau Taman Hidup, akhirnya kami sampai di Danau Taman Hidup. Sembari menghilangkan lelah, kami mendirikan tenda, kami mendirikan tenda di dekat danau, saat kemarau bibir danau akan mengering sehingga dapat didirikan tenda, selain itu dengan pertimbangan dekat dengan sumber air untuk minum atau masak. Tenda dibawah langit terbuka berharap dapat melihat langit malam yang cerah karena tidak ada tajuk penghalang. Kegiatan selanjutnya, ishoma. Menikmati sore di Danau Taman Hidup

Sore berganti malam, matahari sudah kembali ke peraduan. Malam di tepian danau taman hidup, di dalam tenda tidur. Dingin, sebenarnya faktor lain yang membuat tidak beranjak karena mistis. Tidur nyenyak karena kelelahan, meski pegal-pegal tetap berusaha memejamkan mata, dan akhirnya terlelap. Dingin, menusuk tulang, ingin buang air karena kedinginan. Bangun keluar tenda untuk buang air, kaget karena dingin menusuk tulang, saat lampu senter menyorot rumput ada yang tidak biasa, semacam pantulan kristal kecil dari permukaan rumput. Ternyata kristal tersebut itu adalah embun yang membeku (Frost). Mungkin suhu saat itu sudah dibawah 0 derajat. Karena masih malam, akhirnya balik tenda dan tidur.

Pagi menjelang, kami bangun untuk menunaikan sholat, dengan kaki yang masih kedinginan ditambah air yang sangat dingin. Air di botol yang diambil ternyata sangat dingin, bahkan sisa air di nesting juga membeku, ternyata suhu sudah dibawah titik nol malam itu. Menunggu matahari berajak kami keluar karena sudah luayan terang. Rumput di sekitar danau memutih, dan hari itu memang terjadi embun beku (Frost). Tempat yang umum memang di Sabana Lonceng atau Rawa Embik, tapi hari itu kami merasakan embun beku di Danau Taman Hidup.

Bermain dengan dinginnya Taman Hidup, mengumpulkan bongkahan air yang membeku di piring, atau es serut di tenda. Sepertinya pake sirup enak, es serut danau taman hidup. Matahari mulai menyingsing, dan kami masih sibuk menikmati fenomena yang tidak biasa ini. Saat matahari mulai menampakkan wujudnya, es di daun dan rumput masih terlihat dan berkilau. Menampakkan keindahan dari danau taman hidup yang menjadi salah satu ikon jalur pendakian gunung Argopuro.

Baterai kamera sudah mulai habis, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin merekam semua keindahan di danau taman hidup. Sembari menyiapkan makan, kami mengumpulkan sampah yang ada di sekitar danau, dibakar sekalian buat menghangatkan badan. Mulai membuat makan, kopi, dan minuman hangat. Sambil menikmati matahari pagi kami berkeliling, meski hanya di sekitar dermaga. Packing dimulai dari membersihkan tenda, semua barang dirapikan dan terakhir tenda, menunggu tenda kering karena masih basah karena embun es.

Setelah semua siap, tenda kering, dan kami packing. Sudah cukup lama di Taman Hidup. Kami bertemu rombongan pendaki lain yang menginap di Taman Hidup juga. Lelah dan tidak sabar untuk segera turun. Padahal perjalanan masih jauh. Meski sudah tinggal jalan menurun, tetapi dengkul sudah soak sepertinya, menahan beban saat turun di turunan sama menyiksanya dengan naik tanjakan. Perjalanan turun lebih singkat, 2-3 jam sudah sampai di Basecamp. Setelah di basecamp, ambil motor dan beristirahat di Pos Jaga. Perjalanan yang melelahkan, tapi memang perlu dipaksa, agar tujuan dapat tercapai. Catatan perjalanan ini bisa jadi saksi perjalanan pengabdian di kehutanan, sebelum melangkah ke gunung yang lainnya, Kaldera Terbesar, Gunung Tambora.

Baca juga part sebelumnya part 1 https://bit.ly/31HrtLY dan part 2 https://bit.ly/2FBQnmE

Catatan Perjalanan ini untuk pendakian pada tanggal 23-25 Juli 2018, Selama menjadi Bakti Rimbawan BBKSDA Jawa Timur

Argopuro, Pernah Sampai Puncak Tertinggi Dataran Tinggi Yang (Part 2): Puncak Argopuro

Argopuro sebagai puncak tertinggi dataran tinggi para dewa (Hyang Plateau), mungkin dia tidak seterkenal semeru, atau se ekstrim Raung, tapi bagi pendaki yang pernah ke sana pasti kesannya berbeda. Dengan panjang jalur terpanjang di Jawa , lama perjalanan, dan harga tiket masuk, ia memiliki cerita tersendiri.

Setelah sejenak beristirahat di puncak rengganis, sembari mengisi tenaga, mengamati sekeliling dan menikmati keindahan rengganis, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Puncak Argopro. Berjalan menyusuri setapak dan kembali ke lembah Lonceng, kami lalu mendaki menuju puncak. Track dari lonceng cukup jelas. namun berbeda dari puncak rengganis, jalan ke argopuro lebih terjal, tanpa ampun. kanan kiri berdiri tegak tumbuhan Cemara Gunung (Casuarina junghuniana), dengan bekas kebakaran di kulit batangnya, terkadang miring hampir roboh, serta semai yang melimpah untuk regenerasi mereka.

Setelah berjalan beberapa lama, sambil mengatur nafas, berhenti beberapa kali, akhirnya kami sampai di Puncak Argopuro, puncak teringgi Dataran Tinggi Yang (Hyang Plateau). Syukur kami panjatkan, setelah berjuang akhirnya bisa sampai di titik ini. Tidak terpikirkan bagi kami menapaki titik ini, gunung yang tampak menjulang dilihat dari kampung, akhirnya bisa sampai juga. Puncak Argopuro tidak seperti puncak pada umumnya, di sana masih ada vegetasi, dan cukup tertutup, dengan tumbuhan Cemara Gunung yang rapat kita tidak bisa memandang sekeliling puncak seperti pada umumnya.

Puncak Argopuro sepertinya juga dijadikan tempat berziarah penduduk baderan, hal ini terlihat dar bekas sejaji yang di tempatkan di titik puncak. Di tempat ini juga terdapat batu-batu yang seperti sengaja disusun untuk meletakkan sesaji, melihat bentuk batunya juga tidak sepert di sekitarnya, batu ini selain itu di bagian puncak ini tidak dijumpai bebatuan sebagaimana puncak gunung, puncak berupa tanah pada umumnya. Melihat hal tersebut, sepertinya batu-batu tersebut dibawa dari bagian lain dari puncak Argopuro.

Setelah puas di puncak sembari beristirahat memulihkan tenaga, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Arca. Puncak Arca masih satu punggungan bukit dengan Argopuro hanya dipisahkan sadelan. Perjananan menyusuri igiriigir gunung, dengan bebatuan yang berserakan. Beberapa titik juga nampak seperti jalan yang sengaja disusun dari batu. Dari bagian ini juga terlihat Danau Taman Hidup. Nampak jelas seperti secawan air di rimbunan hutan di sekitarnya.

Perjanan berlanjut hingga di titik yang di sebut Puncak Arca. Di titik ini terdapat benda purbakala yang terlihat seperti Arca, namun dalam kondisi yang sudah tidak utuh. Namun masih menunjukkan bentuk patung seperti manusia yang sedang duduk. Berdasarkan info dari pengelola dan penduduk sekitar, kepala Arca sudah hilang dicuri. Di sekitar situs juga masih dijumpai struktur seperti bangunan berupa pagar dan bangunan punden berundak dan batu bata yang terbuat dari batu (bukan tanah) di sekitar Arca. Punden berundak ini mengindikasikan bahwa sekitar puncak Argopuro juga telah digunakan oleh masyarakan sejak dulu pada zaman kerajaan atau masa sebelumnya.

Waktu sudah semakin siang, perjananan kami lanjutkan menurni punggungan Argopuro menuju jalur gunung rangkak. Waktu sudah menunjukkan jam 11 an, kami harus bergegas untuk turun agar tidak kemalaman saat tiba di Danau Taman Hidup. Perjalanan menurun harus dilakukan dengan hati-hati, jika tidak bisa mengerem bisa-bisa masuk jurang. Tengah hari kami sampai di Camp, Cemara Lima. Beristirahat sejenak, meregangkan kaki, kami berkemas, packing. Sebelum pergi bersih-bersih dulu, jangan sampai ada sampah yang tertinggal.

Sekira jam 1 an, kami turun, menyusuri kembali jalan di sekitar taman kering, dengan kaki yang sudah cenut-cenut, kami lanjutkan perjalanan. Sampai di perbatasan hutan lumut kami istirahat sejenak, ternyata charger kamera hilang, entah jatuh dimana. Syukurlah, hutan lumut yang lebat dan rapat membuat matahari tak sampai di badan, perjalanan menjadi lebih enak. Meski perjalanan cukup panjang, namun tidak terasa.

Jam setengah lima kami sampai di Taman Hidup. Langsung beristirahat sejenak. Sembari mengambil air dan menyiapkan makanan sebagian dari kami mendirikan tenda. Bersyukur masih bisa menikmati Danau Taman Hidup. Memutusakan menginap disini semalam, karena sudah lelah dan tidak memungkinkan langsung pulang.

Ceritanya lanjut di Part 3, ada cerita seru Taman Hidup

Part 1 nya disini https://bit.ly/31HrtLY

Argopuro, Pernah Sampai Puncak Tertinggi Dataran Tinggi Yang (Part 1) : Puncak Rengganis

Mulai bosan di dengan aktifitas di bawah, lebih tepatnya nungguin Pos Jaga Pendakian. Menunggu pendaki datang, melayani mereka untuk mencapai puncak tertinggi Argopuro, atau sekedar ingin menikmati kemisteriusan Taman Hidup. Terkadang masih harus berdebat tentang tarif yang mahal, apalagi dengan WNA, padahal kami hanya menjalankan peraturan yang ada, bukan pembuat kebijakan. Terkadang harus kejar-kejaran atau menjegal mereka ketika keluar hutan. Wisatawan yang membandel memang selalu ada, apalagi wisata gunung, tapi giliran mereka sakit, kecelakaan, nyasar atau musibah lainnya baru mereka sedikit sadar, bukan sadar ya. Berdebat sudah biasa, apalagi dengan anak lokal, kecuali penduduk desa penyangga.

Kenapa pembukaan ceritanya panjang sekali? mungkin karena sekalian nostalgia kali ya. Disini di tempat baru belum mulai aktivitas pelayanan, bersentuhan dengan pendaki juga belum. Semoga disini lebih baik lah ya, soalnya disini jauh lebih murah.

Pos Jaga dan Loket Pendakian, Hanya yang niat tertib aja mau susah susah ke sini

Rencana perjalanan menggapai puncak tertinggi Dataran Tinggi Yang dibuat mendadak, dengan perlengkapan yang sudah disiapkan sebelumnya kami berangkat. Bertiga dengan Adik dan Tetangga di kampung. Semua dimulai dari basecamp, sekitar jam 6 pagi start. Perjalanan masih segar dengan stamina masih baru, dan masih sangat bersemangat. Rencana target puncak dapat di capai dalam waktu sehari, estimasi sampai di sabana lonceng sekitar jam 5-6 sore, dengan rincian basecamp taman hidup 4 jam dan taman hidup puncak 4-5 jam. Namun, semua nantinya disesuaikan dengan kondisi fisik. Kenyataannya, jam 11 baru start dari taman hidup. Dengan tenaga yang sudah terkuras saat menuju taman hidup dengan track yang tanpa ampun, kemungkinan target puncak atau sabana lonceng tidak akan tercapai. Benar saja, perjalanan lanjutan dari taman hidup sudah kelelahan semua. Karena penyesuaian tersebut maka target di turunkan, kami akan camp di Cemara Lima. Titik ini merupakan titik tengah antara Taman Hidup dan Puncak.

Taman Hidup lewatin aja

Dengan nafas yang sudah tersengal-sengal, nafas yang sudah tak beraturan, serta tenaga yang sudah terkuras saat melewati hutan lumut yang tak berujung, dan jalan melingkar tak berujung mengelilingi gunung Taman Kering. Akhirnya kami sampai di Cemara lima, sekitar jam 3 lebih. Kami memutuskan mendirikan Camp disana. Ketinggian 2500-an mdpl, di punggungan bukit antara gunung taman kering dan Puncak, lokasi ini cukup enak untuk beristirahat, meski anginnya cukup kencang. Sayang, air disana tidak ada, harus membawa dari taman hidup, jadi lokasi ini hanya untuk camp alternatif. Sembari beristirahat, menyiapkan strategi untuk perjalanan ke puncak.

Perjalanan ke puncak, dimulai saat matahari masih belum terbit. Kami memutuskan untuk berangkat sangat pagi dan sholat subuh dalam perjalanan. dengan berbekal senter di tangan, kami berangkat. Jalur pendakian cukup tertutup, tapi masih tampak jalurnya, mungkin karena pendakian beberapa hari sebelumnya tidak ramai. kami berjalan menyusuri jalur yang ada dan sholat di sekitar sungai kering. setelah selesai sholat kami melanjutkan perjalanan, jalur menanjak tanpa ampun mulai dari titik ini. Jalur yang rimbun oleh semak dan rumput, dan terkadang membentuk lorong seperti gua. Beberapa menit berjalan kami dikejutkan dengan suara seperti kucing, tapi lebih berat, takut tapi harus tetap jalan, semoga bukan Macan Kumbang (https://bit.ly/2IAOQ24). Ini yang membuat kami mewanti-wanti untuk tidak melakukan tracking saat sudah gelap.

Perjalanan menanjak hampir tak terasa karena masih gelap, tapi fajar sudah mulai menyingsing, dan mulai menampakkan salah satu keindahannya. Semeru di ujung barat terlihat disinari mentari hingga menampakkan kegagahannya. dan Taman Hidup juga nampak dari kejauhan dari titik ini. berhenti sejenak, sambil mengisi tenaga. sembari menikmati keindahan sunrise dari balik gunung Argopuro. Setelah puas menikmati keindahan yang tersaji, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak, tidak bukan puncak, tapi sabana lonceng. Jalan masih terjal, tapi sudah mulai terang dan sampai di titik yang melingkari punggungan dan sampai di pertigaan antara jalur langsung ke puncak dan menuju Lonceng.

Saat di pertigaan ini terdapat percabangan, dimana ke arah kiri menuju ke puncak arca dan puncak argopuro, sedangkan ke arah kanan menuju sabana lonceng. Kami mengambil ke arah kiri karena tujuan kami adalah sabana Lonceng. perjalanan dilanjutkan menyusuri bibir kawah lama yang sudah tidak aktif. Semacam cawan yang tidak terisi air. Setelah beberapa saat berjalan akhirnya kami sampai di Sabana Lonceng. Savana luas diantara dua puncak ternama Dataran Tinggi Yang, Rengganis dan Argopuro. Saat kami tiba savanna masih belum tersinari karena terhalang rengganis. Berjalan beberapa langkah menyusuri jalan setapak, kaki terasa tertusuk, dingin. Ternyata embun beku, meski tinggal sedikit, wah, ini pengalaman pertama bertemu embun beku. Memang ada waktu-waktu tertentu beberapa titik di Argopuro melewati titik beku.

Berjalan perlahan menuju ujung persimpangan sabana lonceng, dimana biasanya pendaki camp. Disini adalah persimpangan dan titik temu antara pendaki yang naik dari Baderan atau naik dari Bermi. Jika dari Bermi Argopuro ke arah kiri dan Rengganis ke kanan. Karena tujuan kami ke Rengganis dulu maka kami ke arah kanan. Perjalanan ke Rengganis tidak terlalu susah, dan tanjakannya juga tidak terlalu tajam. Jalurnya sangat jelas. Beberapa saat berjalan, kami sampai di areal yang cukup datar, terdapat tumbuhan Edelweis dan Centigi sudah mulai nampak. Beberapa titik dijumpai tumpukan batu yang membentuk tembok pagar, seakan menunjukkan sebuah gerbang menuju areal taman atau suatu bangunan.

Semakin dekat ke arah puncak Rengganis, terlihat kawah belerang yang sudah tidak aktif, namun bau belerang masih sangat kuat tercium. Kami memutuskan untuk melihat ke dasar kawah, karena di dasar kawah nampak sisa bangunan kuno yang diperkirakan merupakan kompleks suatu keraton atau tempat pemujaan dimana Dewi Rengganis dulu tinggal. Setelah berjalan turun dan sampai di bawah kami berkeliling mengamati bangunan kuno tersebut. tampak pagar batas luar dan ruang-ruang dengan sisa struktur bangunan yang mulai hancur. terdapat susunan batu menyerupai makam, tapi sepertinya bukan makam, hanya susunan batu atau petilasan saja. Perlu penelitian lebih detail untuk menjelaskan apa sebenarnya struktur bangunan ini

Puas menjelajah daerah bawah kami memutuskan naik ke puncak Rengganis. Puncak Rengganis terletak di atas kawah tersebut. Menuju puncak juga terdapat struktur seperti tangga dari batu yang sengaja disusun. Setelah sampai di areal puncak ternyata disana juga masih terdapat struktur bangunan menyerupai sekat-sekat bangunan dengan ruang-ruang tertentu. susunan batunya mirip dengan yang di dasar kawah. Terdapat dinding luar dan ruang ruang dengan ruang utama berupa petilasan yang menjadi titik tertinggi puncak Rengganis. Puncak ini masih sering digunakan oleh penduduk baderan untuk melakukan ritual tetentu “Nyadran” semacam ngalap berkah untuk tumbuhan tembakau mereka. ini terlihat dari bekas bekas sesaji yang masih ada di sekitar titik puncak Rengganis.

Setelah puas berkeliling di rengganis perjalanan dilanjutkan ke titik tertinggi Dataran Tinggi Yang, Argopuro. Nanti lanjut di part 2 ya.

Jangan lupa selalu bubuhkan sumber jika menggunakan foto di postingan ini, semua foto adalah dokumen pribadi. Terima kasih

Jalur Pendakian Paling Umum Menuju Gunung Tambora, Pancasila

IMG_6603

Gunung ini mungkin tak seterkenal Rinjani di Lombok. tapi ia adalah gunung cantik yang pernah mengguncang dunia beberapa abad silam. Benar, ia Tambora, gunung yang meletus dan menggembaparkan dunia dengan letusannya, bahkan menelan ribuan jiwa akibat letusannya secara langsung serta bencana ikutan setelah letusannya. Setelah beberapa dekade pasca letusan dahsyat tersebut, kini tambora menyajikan kecantikan yang mempesona, dengan cawan raksasa yang spektakuler.

Gunung Tambora memiliki puncak dengan ketinggian yang berbeda-beda di sekeliling bibir kaldera, dengan puncak tertinggi 2851 mdpl. Puncak ini dapat dijangkau dari jalur pendakian pancasila. Jalur Pancasila merupakan jalur pendakian yang paling umum dan sudah dikenal umum oleh pendaki. Jalur ini merupakan jalur bagi pendaki yang akan menempuh perjalanan dengan tracking atau jalan kaki. jalur ini dapat ditempuh dalam waktu 3  hari pulang pergi, puncak dapat ditempuh dalam waktu 2 hari dan turun selama sehari. Jalur ini terletak dimulai di dusun Pancasila, Desa Tambora, Kec. Pekat, Kab. Dompu. Dusun ini dapat ditempuh dengan Bus dari Dompu atau Bima dengan jurusan Calabai, dan dari Calabai ke dusun Pancasila dapat menggunakan Ojek.

Sebelum melakukan pendakian gunung tambora semua pengunjung harus melakukan registrasi dan pembelian tiket masuk di kantor Resort Pancasila, Balai Taman Nasional Tambora. Semua pengunjung wajib melakukan proses perizinan dan membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sesuai dengan PP No 12 2014 tentang PNBP. Tarif masuk untuk WNI Rp.5000/Hr/Org untuk Hari Kerja dan Rp.7500/Hr/Org untuk hari Libur, dan untuk WNA 150% dari tarif WNI (Lihat gambar). Kantor Resort terletak di Perbatasan Desa Tambora dan dapat dijumpai dengan mudah saat menuju dusun pancasila.

tarif pnbp tambora

Dari kantor Resort pendaki dapat melakukan start pendakian sesuai dengan jalur yang telah ditentukan. Selain berjalan langsung dari Kantor resort, pendaki dapat memanfaatkan jasa ojek yang dikelola oleh kelompok masyarakat di dusun tambora untuk mengantar pendaki hingga pintu rimba. Adapun tarif ojek hingga pintu rimba sebesar 150.000. Selain ojek ada layanan wisata lain yang dapat digunakan oleh pendaki, yaitu jasa porter sebesar 150.000 perhari. Jika masih pemula dan untuk menghemat tenaga pendaki dapat memanfaatkan jasa ojek atau porter yang ada.

Oleh: Samsul Maarif

Besok saya tulis detail pendakiannya ya… masih malas…. alasan aja, soalnya belum naik.

 

Duabanga moluccana, The Giant Tree in Tambora National Park

Duabanga moluccana atau banyak mengenalnya sebagai pohon rajumas merupakan salah satu jenis pohon yang sangat terkenal di pulau sumbawa, khususnya di gunung Tambora. Pohon ini merupakan pohon yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan merupakan salah satu pohon yang menjadi bahan baku pembuatan playwood di Indonesia. Rajumas merupakan pohon pioneer yang biasa tumbuh pada daerah dengan kondisi lingkungan yang ekstrem, dimana tumbuhan lain umumnya tidak dapat tumbuh. Tumbuhan ini dapat mencapai tinggi 25 -45 meter, dengan diameter mencapai 100 meter. Tumbuhan ini dikenal sebagai tumbuhan intoleran atau butuh sinar matahari, sehingga umum dijumpai di areal terbuka atau tepian jalan.

Duabanga_moluccana
Duabanga moluccana (http://www.asianplant.net/Lythraceae/Duabanga_moluccana.htm)

Tumbuhan ini umum dijumpai di hutan Gunung Tambora, bahkan terlihat seperti tegakan murni. Mungkinkah ini salah satu alasan masuknya perusahaan kayu ke Sumbawa?, melihat potensi hutan duabanga yang ada di sana. Berdasarkan identifikasi perusahaan kayu tersebut tegakan duabanga di tambora terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan ketinggian tempat yaitu 400-750; 750-1000; dan 1000-1200 mdpl. Ketiga zona memiliki karakteristik masing-masing. Zona pertama meskipun duabanga cukup dominan tetapi jenis lain juga masih menonjol, pada zona kedua tegakan duabanga sangat dominan bahkan terlihat seperti tegakan murni, sedangkan zona ketiga merupakan zona peralihan antara tegakan duabanga dan tegakan cemara gunung.

Keberadaan tegakan murni di TN Tambora ini perlu dilestarikan dan dijaga agar dapat dijadikan sumberdaya genetik untuk kebutuhan budidaya. Tegakan yang ada dapat dijadikan sumber benih. Selain itu dapat dijadikan lokasi untuk mempelajari pertumbuhan, perkembang biakan atau hal lain yang terkait dengan habitat Duabanga moluccana.